Rabu, 16 Juli 2014

Kisah sebuah buku

Entahlah berapa usiaku kini. Aku masih tampak muda, sehat dan aku masih bisa bertahan di rak besar di sebuah perpustakaan tepat di jantung kota.
Pendatang perpustakaan dari tahun ke tahun mengalami penurunan pesat. Entah penyebabnya. Hanya seorang kakek tua yang setiap hari mengunjungiku dan teman-teman. Kakek itu setiap pagi menyapa ramah kami, dengan membaca setiap lembar huruf yang melekat pada tubuhku.
Namun beberapa hari ini, kakek tua itu tak kunjung menanmpakan batang hidungnya. Aku merasa kehilangan sahabat. Tampak raut kesedihan di mimik kami. Bahkan aku merasa tampak tua sekarang, debu ditubuhku membuatku tampak kusam dan tak bernyawa.
Kini, tak ada satu orangpun menginjakan diri di perpustakaan ini, terkecuali ketika hujan deras. Perpustakaan ini menjadi ramai, karena para pejalan kaki dan pengendara roda dua ikut berteduh di rumah kami.
Aku senang dengan kehadiran mereka semua yang dapat menghangatkanku. Tapi sayang, kata hangat hanya mimpi belaka. Kenyataannya tak ada satupun dari mereka yang nententuh kami. Mereka hanya sibuk dengan gedget mereka. Keautisan orang-orang disekelilingku membuatku mengerti. Kami telah kalah melawan teknologi. Om google terasa lebih praktis, hebat dan tak memakan waktu dibandingkan denganku yang terlalu rumit.
Ketiadaan pengunjung diperpustakaan ini sampai ke telinga para petinggi kota. Orang-orang penguasa memutuskan untuk menutup perpustakaan dan menjual aku dan teman-teman ke tukang loak. Dari 10  buku, kami hanya dihargai sepuluh ribu. Harga itu tak sebanding dengan nilai yang akan didapat di setiap lembar tubuhku.
Aku berpikir setidaknya aku menemukan kembali sahabat baru. Kenyataannya mereka tak berniat bersahabat denganku melainkan mereka musuhku. Aku akan dileburkan di mesin giling dan didaur ulang sebagai sebuah kertas kembali.
TIDAK!!! aku menjenrit. Aku tak ingin tulisan ini hilang dari tubuhku.
Mereka tak mendengar jeritanku.
Satu per satu dari kami masuk ke mesin giling. Aku menangis. Aku berteriak meninta tolong bahkan hingga suaraku parau. Aku berharap datang angin kencang hingga menerbangkan kami menjauhi mereka yang biadab.
Giliranku tiba. Aku meronta namun tangan mereka begitu kekar. Sampai akhirnya, aku harus mengakhiri hidupku di mesin giling ini.
Aku hanyalah seorang buku. Tak bernafas, terkecuali ada yang membaca. Tak bergerak, kecuali ada yang membuka setiap lembarnya. Tapi aku memiliki otak cerdas yang menampung setiap pengetahuab, insfirasi, cerita bahkan lelucon, aku siap menyajikannya.
Tapi kini aku tinggal kenangan seiring perkembangan teknologi hingga banyak orang melupakanku .
Tapi kini aku terlahir kembali menjadi kertas, datang membawa harapan baru. Berharap tuanku berkenan menulis dan beebagi denganku..
INGAT!! AKU TAK PERNAH MATI.
AKU AKAN SELALU BERENKARNASI..
Wahai generasi muda janganlah kau sia-siakan aku. Karna aku adalah jalanmu menuju dunia..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar